Skip to main content

Cerpen Tentang Impian - Berjalan Di Atas Sastra



Malam yang kelam kala itu. 

Masa seakan mati ditelan mayapada. Lampu lentera tidak lagi berguna. Angin pun enggan memberi kenyamanan pada penggemarnya. Kini tergeletak benda yang kujaga betul-betul. Kutekan tombol power berulang, layar monitor tidak kunjung menyala. Bagaimana mungkin? Tidak mungkin aku merengek kepada Emak meminta uang untuk memperbaiki laptop ini, untuk makan saja kami harus mengeluarkan peluh di kebun karet milik Pak Ogah, mengumpulkan karet. Laptop ini pemberian Almarhum Bapak, bukan beli, tetapi menang undian jalan santai tiga tahun lalu.

Aku mendengus sebal, menyerah akan keegoisan mesin canggih ini. Ada baiknya jika aku terlelap lalu berharap esok ada keajaiban. Semoga masa tidak lagi menunda sehingga membiarkanku larut dalam kemalangan. Aku melipat monitornya dengan hati-hati dan kuletakkan di meja nakas dari bambo berumur itu. Laptop ini, satu-satunya jalanku kini. Perlahan, kesadaranku hilang, ruhku beranjak menemui alam fananya yang disebut mimpi.

Sinar mentari masuk melalui celah-celah dinding, patut saja. Rumahku bukan berdinding bata merah atau marmer mewah seperti kebanyakan orang. Walau zaman sudah berubah, tetapi tidak dengan kondisi ekonomi keluarga kami. Jangan heran, aku juga tidak memiliki handphone.  Jika aku menelfon seseorang, aku meminjam pada Bu Erni, tetangga sebelah.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam, eh Diah. Nih,” ucapnya seraya menyodorkan benda mungil ke hadapanku.
“Hehe tau aja. Handphone baru ya, Bu?”

Bu Erni mengangguk dengan senyuman cerah merekah dari bibir menornya. Tentu, aku merasa tidak enak hati melihat orang semudah membalikkan telapak tangan untuk memenuhi nafsu duniawi. Astaghfirullah, mana boleh aku bersikap seperti ini.
“Halo?” Sapa seseorang di seberang.
“Halo. Assalamuaikum, Mba.”
“Waalaikumsalam, siapa ya?”
“Aku Diah, Mba. Nanti Mba kesini kan?” Tanyaku antusias.
“Oh, Iya pasti, Dek,” biar kutebak Mba Sonya sedang tersenyum.
“Aku mau kasih teks puisiku, tapi aku tulis pake pena. Laptopku rusak,” raut wajahku berubah muram mengingat laptopku tidak kunjung menyala hingga pagi tadi. Gadis lima belas tahun sepertiku, hanya bisa berpasrah.
“Gak papa, Dek. Nanti Mba Sonya ketik ulang,” ujarnya meyakinkanku.
“Makasih, Mba.”
“Sama-sama, Dek,” sambungan terputus sepihak.

Aku mengembalikan benda mungil ini seraya menyodorkan selembar uang dua ribuan –sekedar tip- kepada Bu Erni yang setia menunggu di teras rumahnya. Aku beranjak pergi, menuju gubuk kecil yang kuidamkan berubah menjadi istana bak negeri dongeng suatu hari nanti.

Jarum jam berputar lebih cepat dari biasanya. Matahari sudah berada di sepertiga langit. Awan putih turut menghiasi langit biru. Kakiku tidak pernah behenti melangkah sejak sepuluh menit yang lalu untuk membawaku ke tanah lapang tempat Mba Sonya menunggu kami, para pecinta literasi. Mba Sonya adalah salah satu dari empat orang pemilik perpustakaan keliling itu. Beliau juga mengadakan kelas menulis dadakan tanpa pungutan biaya, alias gratis.

Kring-kring.
“Mba, awas-awas!” Seru budak-budak kecil dari belakangku. Belum sempat menghidar, sepeda bocah yang sempat oleng menyeggol pinggulku. Sakit badanku, namun lebih sakit ketika melihat kertas puisiku jatuh pada genangan air. Namanya juga budak kecil, tanpa rasa bersalah mereka kabur dengan sepeda mininya.
Lalu apa yang akan kuserahkan nanti pada Mba Sonya?

    “Maaf, Mba,” ucapku lirih ketika berhadapan dengan Mba Sonya. Beliau mengajakku duduk di bawah naungan pohon beringin di dekat mobil perpustakaan keliling singgah.
“Kenapa kamu gak bikin vlog aja? Kamu cantik, upload aja di Youtube siapa tau viral. Haha,” aku rasa beliau sedang berusaha menghiburku. Siapa yang tidak tahu situs itu? Perkembangannya sangat pesat di generasi milenial ini.
“Enggak, Mba. Aku rasa sastra, jalanku,” aku hanya tersenyum samar.
“Doamu terkabul, Sayang,” ucapnya sembari mengelus puncak kepalaku. Beliau menyodorkan amplop coklat kepadaku.
“Ini kerja kerasmu, Mba Sonya coba membantu karyamu diangkat di media cetak. Ternyata berhasil,” senyum manisnya merekah.
Mataku membelalak. “Karya-karya yang dulu kamu kasih pada Mba, sekarang terpampang disini,” lanjutnya dengan menunjukkan koran.

Aku membuka koran yang disodorkannya. Wanita berusia seperempat abad itu menuntunkan pada halaman berapa karyaku tertera. Nasib berpihak padaku. Garis tanganku lurus pada tujuan hidupku selama ini, sastra.
“Kamu berbakat, Sayang. Kamu bakal sukses jadi sastrawan. Kalo kamu mau, kamu liat disana? Dia CEO penerbit, nanti Mba Sonya bantu bikin kontrak menulis,” Mba Sonya menunjuk lelaki bertubuh tegap duduk di sebelah gadis mungil itu. Aku mengangguk mantap dan menahan tangis haru atas usaha Mba Sonya. Sebagai anak tunggal, aku merasakan kehangatan sosok kakak perempuan ketika beliau memelukku begitu erat. Untuk Emak, jangan khawatir lagi untuk sesuap nasi, Diah yang akan bertanggung jawab.



Comments